Laman

MILITANSI BANDUNG UNDERGROUND


SULITNYA ruang ekspresi bagi Bandung Underground membuat komunitas ini seakan menghilang dari pamor panggung hiburan. Namun siapa sangka, dengan semangat militan, kenyatannya mereka mampu bernafas untuk eksis hingga sekarang. Potret eksistensi Bandung Undergroud sekarang lebih apik. Bukan dengan ingar bingar mengumpul dalam pertunjukkan dengan massa banyak, seperti konser rutin di GOR Saparua pada masa kejayaanya. Kini, kelompok Bandung Undergroud tersebar di banyak titik di Kota Bandung dan sekitarnya. Untuk gelaran acara musik pun lebih memilih tempat dengan kapasitas penonton terbatas. Tapi, komunitas yang terbangun kini mencerminkan bentuk regenerasi yang berkembang pesat. Tidak melulu harus berkumpul dalam massa yang besar. Namun, potensi berkreasi tetap hidup dan dibangun dalam kelompok yang kecil tapi tersebar sampai ke pelosok. Berarti semangat militansi itu sudah terbentuk oleh generasi sekarang.

Seperti diutarakan, personel grup Haze, Agung Haze. Menurutnya, generasi sekarang merupakan generasi pengikut dan mereka mengikuti komunitas yang sudah terbangun. Bukan membangun komunitas. Tapi kami bangga, saat ini perkembanggan Bandung Underground berkembang pesat dan mereka mampu mempertahankan semangat militansi agar kreativitas tetap hidup meski dalam ruang ekspresi yang terbatas, karena sejauh ini komunitas ini kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Misalnya, perijinan untuk menggelar konser sangat sulit,” kata Agung.

Dengan kondisi ini, hanya dengan modal semangat, komunitas Bandung Underground bisa hidup. Agung pun tidak peduli dengan budaya pop yang menampilkan banyak band dengan orentasi nilai ekonomi sehingga laku dipasaran. “Kami memiliki musik sendiri dan pengikut sendiri. Tidak perlu mengikuti selera pasar, Karena dalam kreasi bermusik, komunitas Bandung Underground berbeda alam dengan mereka,” tambahnya.

Kendati masalah tempat dan sulitnya birokrasi perijinan menjadi kendala dalam memuntahkan kreatifitas, pada dasarnya Agung menilai selalu ada jalan untuk tetap eksis. Terlebih lagi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi melalui interner pun dapat dimaksimalkan. “Kami menjalin komunikasi antar sesama komunitas dapat lewat facebook, twitter, blog, ataupun media elektronik lainnya. Tidak selalu harus bertemu muka. Karena kami sadar untuk menyatukan semua komunitas dalam ruang terbuka masih sulit. Sehingga teknologi internet dapat dimaksimalkan. Termasuk mencari peluang untuk manggung di luar negeri. Karena, tidak sedikit band-band underground ini sudah manggung di mancanegara,” papar salah seoraang pioner komunitas Bandung Underground.

Mengenang masa lalu, saat Bandung Underground mulai tumbuh, Eko Riyantono salah seorang pendirinya mengaku banyak suka duka yang masih terekam sampai sekarang. “Pokoknya banyak suka dan duka, kami seringkali kesulitan mencari tempat untuk manggung, mulai dari perijinan dan penolakan masyarakat, kucing-kucingan dengan aparat kepolisian. Sampai sempat pula manggung tanpa ada penontonnya,” ungkap Eko.

Bila melihat perkembangan sejarahnya, Bandung Underground mulai menancapkan eksistensinya pada awal 1994. Ketika sebuah studio musik legendaris, Reverse di daerah Sukasenang menjadi cikal bakal scene rock underground. Studio yang digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi melebarkan sayapnya di bisnis lain dengan menjual CD, kaset, poster, t-shirt, dan aksesoris lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang meluncurkan liris pertamanya tahun 1997 berupa album kompilasi bertitel “Masaindahbanget sekalipisan” yang diisi mayoritas band asal Bandung, Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room. Pada masa itu, PAS menjadi band pertama yang meluncurkan album indipendent. Meroketnya band-band beraliran rock kala itu tidak lepas dari peran salah satu stasiun radio yang sering memutarkan band-band baru dan beraliran metal.

Sejarah Bandung Underground tidak bisa dilepaskan dari sekelompok anak-anak metal yang tergabung dalam komunitas Ujungberung. Dalam eranya sekitar awal tahun 1990-an, berdiri studio Palapa yang banyak membesarkan band-band aliran cadas. Seperti Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Melejitnya musik underground yang menjadi bagian dari lifestyle anak-anak muda Bandung didukung melalui media indie yang membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Satu lagi, sejarah musik underground tidak terpisahkan dari keberadaan GOR Saparua. Sebuah tempat yang menjadi saksi lahirnya band-band indie termasuk underground. Saparua menjadi tempat keramat yang menyelenggarakan pertunjukan fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground.

Kota Bandung memang menyimpan banyak energi kreativitas yang tiada batas, termasuk dalam perkembangan musik underground yang kini sudah menjalar sampai ke pelosok tanah air. Maka tidak salah jika Bandung ditasbihkan sebagai barometer musik underground yang memiliki genre musik beragam seperti industrial-techno, hardcore, brutal death metal, punk, hardrock, ska, alternative, black metal dan lainnya. Kini sudah ada 500 band lebih yang mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari Bandung Undergrund. Tentu saja, keragaman kreativitas yang membanggakan dan kita adalah bagian dari mereka. (cucu sumiati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar